Cerita Teknologi, Penyandang Disabilitas, dan Masa Depan Inklusif

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Juliana Cen punya cerita sendiri tentang para penyandang disabilitas. Awalnya, dia mengaku pertama kali mengenal dunia neurodivergence ketika putra kembarnya yang saat itu masih balita didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme (ASD). 

Neurodivergent adalah sebutan untuk seseorang yang memiliki cara kerja otak yang berbeda dibandingkan mereka yang dianggap standar atau tipikal.

Berhadapan dengan tantangan sebagai seorang ibu dari dua anak dengan disabilitas, Juliana awalnya ragu untuk membagikan kisahnya. Namun, ia kemudian mendapatkan dukungan dari Employee Resource Group Microsoft, di mana semua karyawan neurodivergent Microsoft berkumpul, berbagi cerita, dan saling memberikan rekomendasi.

Seiring berjalannya waktu, Juliana mulai menyadari bahwa gejala-gejala yang menuntun diagnosis kedua putranya juga dialami Juliana pada masa kecilnya sendiri. "Ibu saya mengira gejala yang kami lihat pada anak-anak saya adalah hal biasa karena saya juga memiliki gejala tersebut ketika kecil. Semakin dalam saya mempelajari tentang autisme, saya menemukan beberapa karakteristik dan pola pikir terkait dengan itu [autisme] yang sangat mirip dengan apa yang saya alami sendiri. Jadi, saya melakukan beberapa tes online, dan hasilnya selalu sama – borderline personality; atau dengan kata lain, ambang batas antara neurodivergent dan neurotypical, dengan kecenderungan menuju neurodivergent. Tes-tes tersebut menyarankan saya untuk berkonsultasi dengan psikolog terdekat. Jadi, saya pergi berkonsultasi dengan ahli. Saat itulah saya didiagnosis secara klinis dengan Asperger," kenang Juliana yang dikutip dari siaran pers, Senin (11/12/2023).

Diagnosis ini pun menjadi titik terang sehingga membantu Juliana memahami mengapa dia kerap berpikir dan berperilaku berbeda dari kebanyakan orang. "Namun, diagnosis itu juga mengundang pertanyaan; perlukah saya memberitahu ini kepada rekan-rekan kerja seperti ketika saya menceritakan tentang anak-anak saya? Saya takut akan pikiran orang tentang saya. Saya takut tidak diterima. Dan setelah berita ini sampai ke publik, saya bertanya-tanya apakah orang hanya akan melihat saya sebagai seseorang dengan Asperger,” kata Juliana.

“Melalui komunitas yang sama di Microsoft, saya belajar bahwa ada orang lain yang didiagnosis sebagai neurodivergent di masa dewasa juga, dan mereka menggunakan semua platform yang ada untuk meningkatkan kesadaran dan penerimaan terhadap autisme. Itu memberi saya keberanian untuk secara terbuka mengumumkan kondisi saya kepada keluarga dan teman-teman, dan akhirnya kepada rekan-rekan kerja serta masyarakat luas. Alhasil, pada Hari Kesadaran Autisme Sedunia 2023, saya mengungkapkan kondisi saya melalui sebuah video – yang awalnya hanya ditujukan untuk rekan-rekan kerja Microsoft secara internal – tetapi kemudian saya publikasikan di media sosial saya dengan harapan meningkatkan kesadaran dan penerimaan terhadap autisme," tambah Juliana.

Individu neurodivergent adalah individu dengan perbedaan neurologis yang mempengaruhi pembelajaran, pikiran, dan perilaku individu-individu bersangkutan. Perbedaan ini menghasilkan kekuatan dan kemampuan unik - beberapamemiliki tingkat konsentrasi yang tinggi dan dapat menguasai sebuah subjek atau keterampilan yang kompleks, beberapa  memiliki karakter yang sangat tidak memihak dalam menilai lingkungan sekitarnya sehingga memperlakukan semua orang dengan adil dan hormat, beberapa memiliki kemampuan luar biasa dalam bidang tertentu seperti matematika, ilmu pengetahuan, seni, atau bahasa, dan lain sebagainya. Individu-individu tersebut mungkin telah menyaksikan kemajuan teknologi, tetapi apakah mereka benar-benar mendapat manfaat dari teknologi?

Teknologi sering dianggap sebagai pembuka peluang baru. Dengan demikian, teknologi memiliki potensi untuk membantu individu neurodivergent dan penyandang disabilitas secara luas, mengasah keahlian khusus mereka, meningkatkan kemandirian mereka, dan mengakses peluang yangsebelumnya bisa jadi tidak dapat dijangkau. "Aksesibilitas mendorong inklusivitas dengan memanfaatkan inovasi digital dan memanfaatkan data yang berharga, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih informatif dan berdampak positif pada kehidupan," ujar Faizal Thamrin, Data Innovation Lead, UN Global Pulse Asia Pacific.

Teknologi juga dapat memberdayakan penyandang disabilitas untuk berkontribusi pada masyarakat dan ekonomi, serta menunjukkan bakat dan keterampilan mereka. "Hidup kita sangat terkait erat dengan teknologi yang berkembang secara pesat. Jadi, jika kita ingin memastikan tidak ada siapapun yang tertinggal, kita harus mampu memenuhi berbagai kebutuhan agar dapat menciptakan lingkungan di mana orang dengan berbagai kemampuan bisa diterima dengan baik. Bayangkan betapa membingungkan dan menakutkannya untuk hidup di dunia yang dirancang tanpa memikirkan kita," tambah Juliana.

Untuk mewujudkan lingkungan tersebut, menurut Juliana, teknologi harus bersifat inklusif, dan pandangan ini juga dimiliki oleh Microsoft. Microsoft berkomitmen untuk memajukan teknologi yang didorong oleh prinsip etika sekaligus menempatkan manusia di kursi terdepan, dan ini juga tercermin dalam terobosan AI seperti Microsoft Copilot. 

Maka, bertepatan dengan momentum Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember setiap tahunnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia bersama dengan Bumilangit mengadakan Pekan Kreatif untuk Penyandang Disabilitas pada 6-10 Desember 2023 di Bloc Bar 2 MBloc Jakarta – sebuah acara yang turut didukung Microsoft. Dengan moto “Kita bisa! Kita mampu! Kita sama!”, acara ini menyoroti bakat dan cerita luar biasa penyandang disabilitas melalui pameran seni, talkshow, dan lokakarya. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *